twitter

Pages

Kamis, 22 Desember 2011

makalah KAROMAH WALIYULLOH


KAROMAH WALIYULLOH
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS
KARYA TULIS ILMIAH
USTADZ PEMBIMBING : BADRUN HASAN







DISUSUN OLEH :

No.
Nama Santri
1
Ahmad Hanifudin
2
Ruhyat
3
Usup Supriatman
4
Hilmi Nugraha
5
Bisri Hanafi
6
fariz awaludin arief 

المعهد اسلامي السلافي الاحياء علوم الدين
PONDOK PESANTREN IHYA ‘ULUMIDDIN
KECAMATAN PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS
KODE POS 46382



LEMBAR PENGESAHAN

Makalah ini dibuat di Pamarican pada tanggal 31 juli 2011,
Pembimbing,
Ketua,



BADRUN HASAN



AHMAD HANIFUDIN


Makalah ini disyahkan di Pamarican pada tanggal 1 Agustus 2011,
Pembimbing,
Ketua,



BADRUN HASAN



AHMAD HANIFUDIN

Kepala Pondok



DADAN TARSENA




KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah memberikan kita kesehatan serta nikmat yaitu nikmat iman dan nikmat islam. Sholawat beserta salam semoga selamanya tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita yakni baginda termulya Nabi Muhammad SAW.
Dengan segala kemampuan yang saya miliki, saya akan mencoba mengumpulkan dan menyusun mengenai makalah ”KAROMAH WALIYYULLAH” untuk memenuhi tugas karya ilmiyah Pamijahan-Panjalu.
Kendatipun segala upaya dan kemampuan yang ada pada diri saya telah saya kerahkan semaksimal mungkin untuk mencapaitujuan, namun karena manusia biasa tidak memiliki kesempurnaan, pasti dalam hal ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, maka dari itu tegur sapa serta kritik yang bersifat menyempurnakan isi makalah ini senantiasa sangat saya nantikan.
Dan akhirnya saya panjatkan do’a kepada illahi rabbie semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan umumnya bagi semuanya.Amiin.



Penyusun,






DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan………………………………………………………….i
Kata Pengantar……………………………………………………………….ii
Daftar Isi……………………………………………………………………..iii
BAB I Pendahuluan………………………………………………………….1
A.    Latar Belakang Masalah……………………………………………................1
B.     Rumusan Masalah………………………………………………….................1
C.     Tujuan Penulisan……………………………………………………...............1
D.    Manfaat Penulisan…………………………………………………..................1
BAB II Pembahasan……………………………………………….………...2
A.    Setting Historis Abdul Muhyi……………………………………................….2        
B.     Gua Safarwadi……………………………………………………...............…7
C.     Panjalu situ Lengkong……………………………………………….............10

BAB III Penutup…………………………………………………………….15
A.    Kesimpulan…………………………………………………………..............15
B.     Saran………………………………………………………………..........…16
Daftar Pustaka…………………………………………………………..……17
Lampiran…………………………………………………………………..…18

BAB I
PENDAHULUAN

1.1           Latar belakang masalah
Ziarah merupakah kegiatan yang sangat penting bagi orang-orang islam khususnya santri pondok pesantren ihya ulumiddin, terutama kita selaku yang masih hidup seharusnya kita harus mengambil hikmah daripada ziarah tersebut yaitu kita harus ingan bahwa stiap jiwa pasti akan merasakan yang namanya mati.
Selain daripada itu ziarah juga merupakan ajang peningkatan ketaqwaan kita kepada Alloh SWT, mengapa ? karena yang telah mendahului kita adalah orang-orang yang sholeh yang ingsya Alloh akan masuk surga.Dan semoga dengan adanya ziarah ini kita semua dapat memperoleh taufiq dan hidayah dari Alloh SWT.
1.2           Rumusan masalah
a.    Siapakah Syekh Abdul Muhyi ?
b.    Siapakah Syekh Khatib Muwahid Pamasalahan ?
c.    Apa sejarah Gua Safarwadi ?
1.3           Tujuan penulisan
a.    Sebagai bahan pembelajaran.
b.    Memenuhi tugas rihlah ilmiah.
c.    Sebagai laporan tertulis rihlah ilmiah.
1.4           Manfaat penulisan
a.    Untuk  bahan pembelajaran para santri.
b.    Sumber pengetahuan tentang sejarah para wali.
c.    Untuk dibaca dan dipahami apa hikmah dari tulisan tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Setting Historis Abdul Muhyi (1650-1730)

Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makmnya di Pamijahan di keramatkan orang.
Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai pahamwahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.
Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan orang tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.
Ia mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu.
Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.
Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi.
Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.
Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.
Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.
Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.
Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri,Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya.Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.
Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud(kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, sepertiHamzah FansuriSyamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutuini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.
Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu (1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw., (3) Wahidiyyah, hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa, (5) alam misal, hakikat segala bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan (7) alam insan, hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan.
Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan ituqadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabat AhadiyyahWahdah, danWahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).
Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsepinsan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.
Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.
Syekh Haji Abdul Muhyi ini  menurut beberapa sumber  terlahir di mataram dan dibesarkan di gresik jawa timur. semenjak anak anak beliu belajar agama islam di gresik dan diteruskan di sunan ampel,kemudian di usia 19 tahun beliu menuju daerah Kuala di otoritas kerajaan Aceh, menurut beberapa sumber beliu belajar agama Islam disana selama 8 tahun. ya itu dari tahun 1088 - 1096  Hijrah atau 1667 - 1675 Masehi. 
Di ceritakan sekitar usia beliu menginjak 27 tahun bersama teman teman seperguruan dipesantrennya yang berada di kuala aceh..Beliu di ajak oleh gurunya ( menurut beberapa kalangan guru tersebut bernama Syekh Abdul Ra'uf ) untuk menimba ilmu agama sekaligus ber ziarah ke makom Syekh Abdul Qodir ke Bagdad. tips wisata murah mengadakan penelusuran kembali, Setelah selesai berziarah dari makom Syekh Abdul Qodir  rombongan tersebut di berarangkatkan ke makkah almukarramah untuk menunaikan ibadah haji.
Di Makkah Almukarramah ini lah guru beliu Syekh Abdul Ra'uf mendapat pertanda,kalau salah satu muridnya akan menjadi Wali dengan ditunjukkan ciri ciri dan tanda tanda kelebihannya. Tentu saja kabar ini dirahasiakan ,disimpan sendiri. Dan kelak bila tanda tanda tersebut sudah bisa dibaca, syekh Abdul Ra'uf di utus memerintah murid tersebut yang tak lain adalah  Syekh Haji Abdul Muhyi untuk segera pulang ke Indonesia dan mencari gua yang ada di pulau jawa bagian barat untuk menetap tinggal disana...Syekh Haji Abdul Muhyi Dari Mekkah pulang menuju kampung dimana Ibunda dan ayahandanya beliu tinggal.  Dan setibanya di gresik beliu memberi tahukan kabar tersebut kepada orang tuanya..Singkat cerita Syekh Abdul Muhyi berangkat mencari Gua seperti petunjuk gurunya waktu di makkah tersebut..tips wisata murah terus membuntuti kisah tersebut, dan gua yang dimaksut dalam petunjuk tersebut adalah GUA SAFARWADI Pamijahan yang berada di Bantarkalong Tasikmalaya Jawa Barat.

B.  Gua Safarwadi
Lokasi Gua yang mempunyai panjang 300 sampai 400 meter tersebut terletak tidak jauh dari makon Syekh Abdul Muhyi berada..Untuk memasuki wilayah makom tersebut anda bisa jalan kaki atau naik ojek. Setelah dari makom anda bisa melanjutkan berwisata ke Gua safarwadi tersebut. yang lokasinya setelah turun dari makom melalui jembatan masjid ada pertigaan anda belok kearah kanan. dan ikuti terus jalan tersebut, anda akan dibawa ke Gua yang dimaksud. yang beberapa kalangan menyakini kalau Gua Safarwadi adalah Gua tempat pertemuan/ rapat para wali Sembilan atau lebih dikenal dengan sebutan WALI SONGO

Oh ya..Memasuki area makom syekh abdul muhyi tersebut, dari jarak radius beberapa kilo dari makom ada larangan merokok.Untuk kasus larangan merokok ini tips wisata murah mendapat selentingan berita. waktu beliu masih hidup dulu termasuk perokok berat, Suatu ketika beliu terkena penyakit yang kalau mencium bau asap rokok menjadi semacam alergi. Semenjak kasus tersebut, semua anak anaknya dilarang merokok. Dan untuk menghormati larangan tersebut. masyarakat sampai sekarang membuat  zona bebas rokok . Menurut penduduk setempat zona bebas rokok itu untuk menghormati jasa beliu pada masyarakat. Dan sekarangzona bebas rokok tersebut malah diperluas oleh masyarakat setempat hingga beberapa kilo meter dari area makom.
Goa Safarwadi memiliki 2 pintu. Jalur pintu masuk di tenggara (Kampung Pamijahan) dan pintu keluar di barat laut (Kampung Panyalahan). Adapun panjang goa sekitar 284 meter dan bagian terlebar 24,50 meter.
Dari ujung ke ujung goa jalan masuknya sempit. Namun bagian dalam memiliki ruang cukup luas yang dapat menampung puluhan orang. Sepanjang jalan goa tampak langit-langit dipenuhi stalaktit-stalagmit. Terdapat pula ceruk-ceruk (semacam lekukan di dinding goa). Jalan goa juga merupakan sumber air yang mengalir ke sungai Pamijahan.
Dekat pintu masuk terdapat lorong yang disebut pangtapaan (tempat bertapa) yang menjadi lokasi pertama ziarah di goa. Setelah itu mengunjungi ceruk kecil mengandung mata air yang disebut: zamzam. Peziarah dapat mengambil air dalam botol plastik untuk dibawa pulang. Air karomah ini dipercaya membuat seseorang awet muda, banyak rezeki, dll. Termasuk pula agar selalu kokoh iman Islam. Perjalanan dilanjutkan ke utara sampai di sebuah lorong dangkal yang disebut cikahuripan (air kehidupan). Air ini diyakini berguna untuk ketentraman keluarga dan dapat menetralisir gangguan jin-jin fasik. Peziarah dianjurkan membaca surat Al Baqoroh ayat 1 sampai 7.
Menurut Anto, sebenarnya saat memasuki lorong goa sudah ada dialog gaib dengan khodam atau pengawal-pengawal gaib Waliyulloh. Karenanya lorong goa ini disebut jalan mistik.
Peziarah harus mengetahui kisah lorong-lorong goa, terutama kisah mistik ceruk-ceruk tersebut. Ceruk merupakan tempat berdoa, namun setiap ceruk memiliki ciri khas tersendiri berkaitan dengan hajat peziarah. Ceruk mengandung getaran energi berbeda. Ceruk yang ada cukup banyak dan diyakini merupakan tempat Wali Songo melakukan riyadhoh. Seorang Wali melakukan riyadhoh di ceruk yang berbeda. Contoh, ada ceruk kopiah, ceruk pesantren, ceruk Banten, dll. Para Wali melakukan riyadhoh sesuai dengan tantangan kultur pada zamannya.
Dikisahkan, seorang wali mendapat isyaroh membangun sebuah pesantren. Agar hajat terkabul, Sang Wali melakukan riyadhoh di Goa Safarwadi. Posisi atau tempat duduknya (ceruk) saat melakukan riyadhoh ini tentu memiliki energi spiritual yang sesuai dengan hajat utama Sang Wali (biasa disebut ceruk pesantren).
Peziarah yang berhajat ingin mendapatkan ilmu tinggi atau memiliki pesantren (baca: lembaga pendidikan), maka cocok riyadhoh di ceruk pesantren. Sedangkan yang berhajat ingin mendapatkan wibawa tinggi atau jabatan, tentu tidak cocok riyadhoh di ceruk ini. Tempat riyadhoh untuk kekuatan, wibawa adalah di ceruk Banten. “Ceruk pesantren suasana gaibnya memang mirip pesantren. Ada santri-santri dan kitab-kitab. Bahkan sebenarnya banyak kitab-kitab gaib beterbangan. Seandainya khusyuk berdoa, insya Allah isi dari kitab-kitab tersebut dapat dikuasai. Pada intinya, kita akan memiliki kecerdasan tinggi,” kilahnya. Terdapat pula lorong besar ke arah barat. Lorong ini memiliki dua cabang ke kiri dan kanan. Pada cabang sebelah kiri (utara) terdapat dua lorong, disebut menara dan jalan ke Mekkah.
Keluar dari lorong dilanjutkan ke lorong utama pada arah utara, yang pada ujungnya terdapat ceruk masjid isteri. Pada lorong ini terbentang dua cabang besar membentuk sayap timur dan barat, yaitu jalan ke Surabaya dan jalan ke Cirebon. Sedangkan lorong paling barat adalah jalan ke Banten. Peziarah yang berhajat pergi haji, namun belum memiliki biaya cukup, biasanya melakukan riyadhoh di lorong menara dan jalan ke Mekkah. Konon, apabila para Waliyulloh hendak ke Tanah Suci secara gaib melakukan riyadhoh di lorong ini. Adapun jalan ke Surabaya, jalan ke Cirebon dan jalan ke Banten, terkait dengan tugas yang dibebankan kepada para Wali dalam melakukan syiar Islam. Ceruk masjid isteri tergolong unik. Tempat ini dikhususkan bagi kaum wanita yang melakukan riyadhoh. “Kaum wanita yang memiliki hajat sebaiknya riyadhoh di ceruk ini. Gaib di sini memang dari jenis jin perempuan,” katanya.
Kembali ke jalur utama goa, perjalanan dilanjutkan ke arah barat. Pada bagian sebelah utara terdapat ceruk cikajayaan dan kemudian ceruk yang disebut tiang masjid Madinah. Ini merupakan ujung lorong goa yang berada di Kampung Panyalahan.
Banyaknya ceruk menggambarkan jejak Waliyulloh dalam memohon kekuatan batin dari Allah SWT demi kepentingan syiar Islam. Waliyulloh memilih goa sebagai tempat riyadhoh semata-semata mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui, Nabi Muhammad SAW melakukan riyadhoh pertama di Goa Hiro. Di goa ini Beliau mendapatkan wahyu pertama. Itulah yang mengilhami Waliyulloh mengikuti jejak Rasul. Peziarah sebaiknya keluar dari goa menjelang shalat shubuh agar dapat melakukan shalat berjamaah.
Saat fajar, peziarah dapat menyempatkan diri ziarah ke makam Syekh Khotib Muwahid. Setelah itu, beristirahat secukupnya di rumah penduduk yang dijadikan tempat penginapan. “Saat tiba waktu zhuhur, peziarah sudah harus bersiap-siap shalat berjamaah. Dilanjutkan ziarah ke makam-makam lain. Jika merasa belum mendapatkan sensasi spiritual, maka dapat melakukan proses ritual yang sama pada malam berikutnya,”sarannya.

C.  Panjalu Situ Lengkong
Menurut sejarah, Situ Lengkong Panjalu yang banyak dikenal masyarakat sebagai danau alam tersebut adalah merupakan danau buatan, danau tersebut dibuat berfungsi sebagai sistem pertahanan bagi pusat pemerintahan kerajaan Panjalu yang berada ditengah pulau. Situ Lengkong Panjalu berdiri pada ketinggian 731m diatas permukaan laut dan memiliki luas 57,95 ha sedangkan Nusa Gedenya 9,25 ha sehingga luas keseluruhan adalah 67,2 ha dengan kedalaman air 4m-6m, pada tanggal 21 Februari 1919 Nusa Gede ditetapkan sebagai cagar alam, tak kurang dari 307 pohon yang terdiri dari 30 jenis menghiasnya, serta jutaan hewan kalong atau kelelawar liar menghuni disetiap puncaknya menjadi salah satu keunikannya.
Pembukaan Situ Lengkong Panjalu sebagai objek wisata dimulai sekitar tahun 1980, hal yang melatar belakangi dibukanya Situ Lengkong Panjalu sebagai objek wisata karena memiliki situs sejarah peninggalan masa lalu yang berhubungan erat dengan kebiasaan adat istiadat serta kebudayaan masyarakat Panjalu. Kawasan Situ Lengkong Panjalu terdiri dari beberapa areal atau lokasi yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri, lokasi-lokasi tersebut antara lain :
1.      Nusa Gede
Nusa Gede adalah pulau yang terdapat ditengah tengah danau, Nusa Gede juga merupakan areal konservasi tumbuhan, tumbuhan yang terdapat di Nusa Gede terdiri dari sekitar 300 jenis tumbuhan yang telah berusia ratusa tahun, keunikan Nusa Gede yaitu adanya hewan kalong atau kelelawar besar yang jumlahnya ribuan yang menghuni puncak-puncak pohon, kelelawar tersebut diyakini sebagai penghuni dan penjaga dari Nusa Gede karena hewan tersebut tidak pernah meninggalkan areal Nusa Gede.
Daya tarik utama dari Nusa Gede yaitu adanya situs bersejarah berupa puing-puing sisa kerajaan Panjalu cikal bakal berdirinya desa Panjalu, di areal tersebut juga terdapat situs makam keramat Prabu Borosngora, higga saat ini areal Nusa Gede dibuka bagi para penziarah serta penikmat benda purbakala maupun orang yang hanya sekedar penasaran ingin tahu peninggalan masa lampau.
2.      Situ atau Danau   
Danau buatan yang awalnya sebagai sistem pertahanan, memiliki kedalaman air sekitar 7 m, luas danau tersebut sekitar 30 ha, debit air daau tidak pernas surut drastis sehingga dimanfaatkan masyarakat sebagai irigasi dan tempat beternak ikan dalam keramba, fungsi lain dar danau tersebut yaitu sebagai media wahana berperahu, wahana berperahu yang ditawarkan terdapat dua jenis yaitu perahu dayung dan perahu angsa, wahana berperahu dimanfaatkan pengunjung untuk bersantai menikmati keindahan alam Situ Lengkong Panjalu, selain itu juga sebagai satu-satunya sarana transortasi menuju Nusa Gede.
3.      Nusa Dermaga
Nusa Dermaga yaitu daratan diseberang Nusa Gede, aktivitas pengunjung sebagian besar dilakukan di sini,   fasilitas yang ada pada Nusa dermaga antara lain dermaga, areal parkir, rumah makan, pondok peristirahatan, wc umum, kantor informasi areal pedagang souvenir serta makanan khas.

Situ Lengkong merupakan situs sejarah peninggalan kerajaan Panjalu yang mengandung nilai-niali sejarah dan kebudayaan yang tinggi. Seni dan budaya yang berkembang saat ini pada masyarakat Panjalu merupakan warisan dari kebudayaan Panjalu pada masa lampau, kerajaan Panjalu, Situ Lengkong merupakan cikal bakal berdirinya Panjalu saat ini.
Kerajaan Panjalu pada masa lampau mempunyai banyak keterkaitan dengan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Barat, sehingga objek wisata Situ Lengkong Panjalu dipastikan mempunyai kedekatan emosional dengan masyarakat Jawa Barat.
Makna yang terkandung pada Situ Lengkong yaitu Situ Lengkong merupakan bukti kejayaan kerajaan Panjalu, segala situs yang ditinggalkannya memiliki makna kebudayaan Panjalu pada masa lampau.
Objek wisata Situ Lengkong mempunyai keunikan yang beragam, danau yang memiliki pulau ditengahnya yang memiliki keindahan alam serta keunikan flora dan fauna terutama hewan kalong (kelelawar besar) yang hidup di puncak-puncak pohon di Nusa Gede (pulau), keunikan lain yaitu sejarah dan budaya yang ditinggalka nenek moyang mereka dapat terjaga kelestariannya, sebagai contoh upacara Nyangku. 
Revitalisasi pada Situ Lengkong yaitu mengangkat citra budaya Panjalu yang memiliki nilai sejarah yang tinggi serta keunikan, revitalisasi meliputi pembentukan identitas serta pembenahan media komunikasi sebagai salah satu bentuk promosi untuk menari minat masyarakat.

Berdasarkan kisah lisan yang beredar di kalangan masyarakat Panjalu, Situ Lengkong terbentuk sebagai bagian dari proses pengislaman yang dirintis Prabu Borosngora, anak kedua dari Prabu Sanghyang Tjakradewa. Dalam Babad Panjalu, Prabu Borosngora disebut sebagai buyut Sanghyang Ratu Permanadewi,
Ratu Kerajaan Soko Galuh yang membawa ajaran karahayuan (kemakmuran). Karena dipimpin seorang wanita, untuk menunjukkan maskulinitas, maka kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Panjalu. Dalam bahasa Sunda, berarti laki-laki. Kerajaan Panjalu pernah kuat dan besar dan menjadi bagian Kesultanan Cirebon sampai akhirnya menjadi kabupaten. Wilayahnya kemudian digabung dengan Kabupaten Imbanagara dan Kawali sehingga menjadi Kabupaten Ciamis sekarang. Daya tarik Panjalu dari segi historis adalah upacara nyangku. Diselenggarakan setiap tahun pada hari Senin atau Kamis terakhir bulan
Maulud. Nyangku berasal dari bahasa Arab yanko artinya: membersihkan. Dalam upacara tersebut, pedang hadiah dari Sayidina Ali dan barang pusaka lainnya seperti keris, dan tombak dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di Bumi Alit untuk dibersihkan. Prosesi dilanjutkan dengan membawa barang pusaka ke Nusalarang, lalu kembali ke balai desa untuk dibersihkan. Menjelang tengah hari, barang pusaka disimpan kembali ke tempat asalnya, Bumi Alit. Bagi masyarakat Panjalu, nyangku memiliki makna yang lebih luas. Dan sesuai dengan ajaran leluhur mereka, setiap langkah dalam upacara tersebut memiliki makna tersendiri yang bertujuan meningkatkan kebahagiaan lahir-batin keturunan Panjalu. Kepada anak-cucunya, Raja Panjalu mewariskan papagon atau ajaran yang antara lain berbunyi; ”Pakena gawe rahayu dan pakena kreta bener” dan ”mangan karna halal, pake karna suci, ucap lampah sabenere,”. ”Hingga kini ajaran tersebut dipegang teguh oleh mereka yang merasa sebagai keturunan Panjalu meskipun sudah menetap jauh di luar Panjalu. Salah satu sesepuh Panjalu yang dipandang sebagai pemimpin adat Panjalu adalah Bah Atong, keturunan ke-14 Prabu Borosngora. 
Di tengah situ lengkong terdapat pulau seluas sekitar 16 hektar. Pulau Nusa Larang. Pulau ini ditetapkan sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Pulau ini sering juga disebut Pulau Koorders. Nama ini adalah sebagai penghargaan kepada Dr Koorders, seorang kebangsaan Belanda pendiri dan sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863. Sebagai seseorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Pekerjaan mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika. Koorders dan rekannya akhirnya berhasil memberikan sumbangan yang tidak kecil pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya, kemudian lahir bukunya, Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang merupakan sumbangan pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa. Sebagai cagar alam, Nusalarang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh alami. Wisatawan yang berkunjung ke sana bisa menikmati berbagai jenis flora, antara lain kondang (Ficus variegata), kileho (Sauraula Sp), dan kihaji (Dysoxylum). Di bagian bawahnya tumbuh tanaman rotan (Calamus Sp), tepus (Zingiberaceae), dan langkap (Arenga). Sedangkan fauna yang hidup di pulau tersebut antara lain tupai (Calosciurus nigrittatus), burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus). Belakangan, populasi kalong di daerah itu bertambah dengan berdatangannya kawanan kalong dari Astana Gede Kawali, situs yang terletak di Kecamatan Kawali, enam kilometer arah utara Kota Ciamis. Selama ini situs tersebut dianggap sebagai pusat Kerajaan Galuh. Kawanan kalong yang bersarang di situs tersebut dikabarkan sudah lebih dulu hijrah ke Situ Lengkong, jauh sebelum terjadi bencana angin ribut melanda situs Astana Gede Kawali. Situs Astana Gede Kawali dipercaya mempunyai hubungan sejarah dengan situs Panjalu di Nusalarang. Kalong yang pulang pergi dari Nusalarang dan Gede Kawali dalam kepercayaan yang beredar adalah penjelmaan dari pasukan Borosngora. 
Situ Lengkong Panjalu berdasar sejarahnya merupakan situ yang terbentuk dari hal yang mistis. Situ ini berasal dari air zamzam pemberian Sayyidina Ali yang dibawa Pabu Borosngora sepulang dari belajar Islam ke Mekah. Ketika air zamzam ditumpahkan ke atas cekungan tanah maka muncullah sumber air yang makin membesar hingga menjadi sebuah situ. Dan ditengahnya terbentuk pulau yang kemudian dijadikan tempat pemakaman keluarga keturunan Prabu Borosngora. Karenanya pulau itu dikeramatkan dan disebut Pulau Nusa Larang. Borosngora sendiri tidak dimakamkan di tempat ini. Beliau hilang entah dimana. Setelah Islam berkembang di Panjalu beliau pergi pamit untuk menyebarkan Islam di daerah lain. Banyak yang beranggapan bahwa beliau akhirnya menetap di Kawali. Beliau dapat menjelma menjadi harimau putih yang melindungi. Kini Situ Panjalu menjadi bagian dari rangkaian Ziarah para wali umat Islam. Air situ dipercaya membawa berkah karena asalnya adalah air zamzam. Lokasinya yang termasuk strategis bisa dicapai melalui berbagai arah. Baik dari Cirebon-Ciamis melalui Kuningan maupun dari Bandung-Tasikmalaya melalui Malangbong. Dari Kota Ciamis yang menjadi ibu kota kabupaten, jaraknya hanya sekitar 15 km.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.     Abdul Muhyi, Syekh Haji (1650-1730)
Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makmnya di Pamijahan di keramatkan orang.
Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai pahamwahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.
2.    Gua safarwadi
Goa Safarwadi memiliki 2 pintu. Jalur pintu masuk di tenggara (Kampung Pamijahan) dan pintu keluar di barat laut (Kampung Panyalahan). Adapun panjang goa sekitar 284 meter dan bagian terlebar 24,50 meter.
Dari ujung ke ujung goa jalan masuknya sempit. Namun bagian dalam memiliki ruang cukup luas yang dapat menampung puluhan orang. Sepanjang jalan goa tampak langit-langit dipenuhi stalaktit-stalagmit. Terdapat pula ceruk-ceruk (semacam lekukan di dinding goa). Jalan goa juga merupakan sumber air yang mengalir ke sungai Pamijahan.
3.    Situ Lengkong Panjalu
Situ Lengkong merupakan situs sejarah peninggalan kerajaan Panjalu yang mengandung nilai-niali sejarah dan kebudayaan yang tinggi. Seni dan budaya yang berkembang saat ini pada masyarakat Panjalu merupakan warisan dari kebudayaan Panjalu pada masa lampau, kerajaan Panjalu, Situ Lengkong merupakan cikal bakal berdirinya Panjalu saat ini.
Kerajaan Panjalu pada masa lampau mempunyai banyak keterkaitan dengan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Barat, sehingga objek wisata Situ Lengkong Panjalu dipastikan mempunyai kedekatan emosional dengan masyarakat Jawa Barat.
Makna yang terkandung pada Situ Lengkong yaitu Situ Lengkong merupakan bukti kejayaan kerajaan Panjalu, segala situs yang ditinggalkannya memiliki makna kebudayaan Panjalu pada masa lampau.

B.  Saran
a.       Mohon kepada seluruh panitia untuk lebih bekerja dengan baik jangan hanya mementingkan pribadi tapi semuanya juga harus diperhatikan.
b.      Dan kepada para peserta mohon jangan sampai kalian menyusahkan panitia.
c.       Yang terakhir jaga kebersamaan kelompok.

DAFTAR PUSTAKA
Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 5-8.
Syekh Google alfadilah alkaromah bil ‘alamah www.google.com
 fariz awaludin arief



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar